Kamis, 27 Januari 2011

REVIEW: THE WAY BACK
























Their escape was just the beginning.”

Kualitas Peter Weir sebagai sutradara memang sudah tidak perlu diragukan lagi, beberapa film yang pernah digarapnya seperti Dead Poets Society (1989), Fearless (1993), The Truman Show (1998), dan Master and Commander: The Far Side of the World (2003) tentu merupakan sebuah bukti nyata yang kuat. Kali ini dengan karya terbarunya, Peter Weir membuktikan bahwa ia adalah salah satu sutradara jempolan! Saya suka sekali dengan film ini, tampaknya tidak ada kekurangan yang signifikan di mata saya. Saya pribadi tidak merasa bosan, nmun untuk penonton lain durasi 133 menit mungkin akan terasa lumayan panjang.

Deretan pemain dalam The Way Back juga bukan sembarangan, lihat saja ada Jim Sturgess, Collin Farrell, Ed Harris, Mark Strong, dan Saoirse Ronan. Seperti yang saya sebutkan diatas, penampilan Collin Farrel dengan aksen Russia dalam film ini sungguh memukau meskipun hanya muncul beberapa saat. Begitu juga dengan Jim Sturgess yang membuat saya kaget dengan aksen Polandia yang terasa seperti asli, padahal Sturgess adalah orang Inggris. Hebat! Trademark Sturgess sebagai pria romantis dalam film drama musikal Across the Universe (2007) sepertinya sudah hilang. Disini ia malah terlihat garang sekali. Sedikit disayangkan mengapa porsi Collin Farrell sangat sedikit dalam film ini, padahal penampilannya boleh dibilang paling menonjol dibandingkan para pemain yang lain meskipun semuanya juga bagus-bagus sekali.

Film ini dimulai dengan setting Perang Dunia II, dimana seorang warga negara Polandia bernama Janusz (Jim Sturgess) yang dikirim ke Gulag di Siberia setelah istrinya disiksa dan dipaksa oleh tentara Rusia untuk menjadi saksi bahwa sang suami benar adalah seorang pemberontak atau mata-mata. Gulag adalah semacam tempat yang khusus dibuat untuk dihuni para pemberontak pada zaman itu, dikelilingi kawat berduri dan berada di daerah yang terisolasi. Sekeliling Gulag terdapat gunung es dan hutan yang dihuni binatang buas. Janusz dan yang lainnya dipaksa berkerja dan diberi makan seadanya, satu kamar tidur dihuni puluhan orang yang soon-to-be-dead. Janusz yang tidak bersalah dan yakin bahwa istrinya telah disiksa akhirnya memutuskan untuk mengambil sebuah keputusan besar, yakni melarikan diri dari Gulag. Bersama beberapa orang teman yang senasib, mereka membuat berbagai rencana untuk kabur dengan berjalan kaki sejauh 4000 mil dari pegunungan Siberia menuju India untuk mencapai kebebasan.

Jalan cerita yang terinspirasi dari kisah nyata juga merupakan sebuah nilai lebih dalam film ini, saya sangat menyukai sebuah film yang optimis dan menurut saya The Way Back merupakan sebuah film yang memperlihatkan sebuah nilai perjuangan dan pantang menyerah. Melihat bagaimana Janusz dan teman-teman berjuang kabur dari Gulag melewati berbagai macam rintangan yang ada namun tetap tidak putus asa sangat membuat saya bersemangat. Saya tidak bosan melihat mereka berjalan dari satu tempat ke tempat lain, lebih tepatnya saya malah menikmati proses setapak demi setapak tersebut.

Sinematografi dan pemandangan dalam film ini juga sungguh amat menakjubkan. Kita diperlihatkan pemandangan indah (sekaligus menakutkan) mulai dari gunung es di Siberia, sampai gurun pasir di Mongolia, keindahan tembok Cina, Tibet, sampai India. Luar biasa! Timmake-up juga melakukan pekerjaan yang fantastis karena para pemain disini memang terlihat seperti para backpacker yang lusuh dan kecapaian akibat berjalan sangat jauh (4000 mil!!!), berbagai keluhan sepertihyportemia, dehidrasi, kelaparan, terbakar sengatan matahari dan lainnya juga divisualisasikan ke para aktor dengan amat meyakinkan.

Saya merekomendasikan film ini kepada para pembaca blog ini. Pertama, karena memang saya tidak menyangka kalau The Way Back akan ditayangkan di Indonesia, apalagi bersamaan dengan tanggal rilisnya di Amerika, karena jalan cerita dan para pemain dalam film ini bisa dibilang mungkin tidak terlalu familiar atau kurang komersil disini. What a surprise! Kedua, karena memang saya pribadi sangat menyukai film ini dan menurut saya film ini memiliki banyak nilai-nilai baik yang bisa kita ambil. Saya malah merasa durasinya kurang panjang! :)




REVIEW: BURLESQUE
























“Well, welcome to Wonderland.”

Membuat film musikal yang sukses tidaklah mudah, menurut sayaBurlesque pun masih belum seberhasil Grease (1978), Moulin Rouge (2001), dan Hairspray (2007), misalnya. Hal ini dikarenakan jalan cerita yang ditawarkan sangat cliché dan predictable. Jadi kalau ingin menontonBurlesque, jangan berharap akan menonton sebuah film yang bagus, tapi lebih seperti menonton sebuah konser yang bagus saja.

Sutradara Burlesque, Steve Antin, sebelumnya lebih sering menggarap video klip musik. Maka tidak heran kalau beberapa scene dalam film ini membuat saya merasa sedang menonton sebuah video klip musik. Bukan hal yang buruk, karena ini adalah film musikal. Tata panggung, pencahayaan, kostum, make-up, serta koreografi benar-benar manawan dan dijamin membuat kita tidak bosan melihat berbagai lagu yang disuguhkan. Rata-rata hampir semua lagu dalam ini enak didengar.

Ali (Christina Aguilera) adalah seorang gadis dari kota kecil yang bekerja sebagai waitress di sebuah cafe sederhana. Ia memiliki kemampuan bernyanyi serta menari yang luar biasa. Suatu hari Ali memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya yang tidak menjajikan tersebut dan nekad menuju Los Angeles guna mengejar impiannya sebagai penyanyi. Tidak sengaja ia melihat The Burlesque Lounge milik Tess (Cher) dan sangat tertarik dengan tempat itu. The Burlesque Lounge adalah sebuah loungeyang menyajikan pertunjukan tarian dengan panggung megah danlighting menawan. Dengan dibantu oleh Jack (Cam Gigandet), salah seorang bartender disana, Ali mendapat pekerjaan sebagai waitress. Namun ketika Tess dan asistennya Sean (Stanley Tucci) membuka audisi untuk penari baru, Ali tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan berhasil memukau mereka. Tidak hanya memberikan performa terbaik, Ali juga membantu Tess mempertahankan lounge kesayangannya itu.

Sudah jelas bahwa Christina Aguilera bisa bernyanyi dan menari dengan sangat baik, namun pertanyaannya adalah apakah ia juga bisa berakting? Jawabannya, belum. Akting Aguilera dalam film ini terasa kaku dan dibuat-buat. Namun saya sebagai penonton cukup maklum mengingat ini adalah debut film pertamanya. Beruntung, suara dan lagu yang dinyanyikannya dalam film ini enak untuk dinikmati, sehingga kualitas akting yang dibawah rata-rata itu paling tidak jadi sedikit tersamarkan.

Seperti yang sudah saya jabarkan diatas, faktor kelebihan dalam film ini adalah kualitas vokal Cher dan Christina Aguilera. Dua penyanyi beda generasi ini tampil memukau dalam setiap scene nyanyian yang ada. Hampir semua lagu dalam film ini asik untuk dinikmati, favorit saya pribadi ada dua yaitu “Show Me How You Burlesque” – Christina Aguilera dan “You Haven’t Seen the Last of Me” – Cher. Akting sang diva, Cher, juga bagus dan terlihat sangat menghayati sewaktu menyanyikan lagu favorit saya tersebut.

Para pemeran pendukung mencuri perhatian lebih baik dibanding Aguilera, terlebih Stanley Tucci. Dalam setiap kehadirannya dalam film ini, Tucci pasti mencuri perhatian penonton. Begitu juga dengan Eric Dane yang banyak dikenal orang sebagai Dr. Mark Sloan dalam serial Grey’s Anatomy. Cam Gigandet, Kristen Bell, dan Peter Gallagher lumayan baik kualitas aktingnya, apalagi kalau dibandingkan dengan Aguilera. Hehehe..

Burlesque menurut saya tidak jelek, cukup menghibur dengan nyanyian dan tarian yang memanjakan telinga dan mata. Para pria tentunya akan lebih ‘dimanja’ lagi dengan penampilan wanita-wanita super sexy dalam film ini. Kekurangannya hanya ada pada akting Christina Aguilera yang belum terlalu bagus, kualitas aktingnya masih harus diasah lagi agar lebih luwes dan meyakinkan. Plot cerita yang standar tentunya juga menjadi nilai minus, kalau didampingi dengan cerita yang lebih tidak pasaran pasti Burlesque akan memiliki rating yang lebih baik lagi.

Film musikal memang tergantung selera individu masing-masing. Saya termasuk orang yang lumayan menikmati tontonan musikal, jadi saya merasa lumayan terhibur menonton film ini. Sekarang tergantung selera anda, apakah anda menyukai film musikal? Kalau tidak, lewatkan saja film ini. Tapi kalau anda fans Cher atau Christina Aguilera tentu harus nonton.





Selasa, 25 Januari 2011

2011 ACADEMY AWARD NOMINEES


















BEST PICTURE
127 Hours
Black Swan
The Fighter
Inception
The Kids Are All Right
The King’s Speech
The Social Network
Toy Story 3
True Grit
Winter’s Bone


BEST ACTOR
Javier Bardem, Biutiful
Jeff Bridges, True Grit
Jesse Eisenberg, The Social Network
Colin Firth, The King’s Speech
James Franco, 127 Hours


BEST SUPPORTING ACTOR
Christian Bale, The Fighter
John Hawkes, Winter’s Bone
Jeremy Renner, The Town
Mark Ruffalo, The Kids Are All Right
Geoffrey Rush, The King’s Speech


BEST ACTRESS
Annette Bening, The Kids Are All Right
Nicole Kidman, Rabbit Hole
Jennifer Lawrence, Winter’s Bone
Natalie Portman, Black Swan
Michelle Williams, Blue Valentine


BEST SUPPORTING ACTRESS
Amy Adams, The Fighter
Helena Bonham Carter, The King’s Speech
Melissa Leo, The Fighter
Hailee Steinfeld, True Grit
Jacki Weaver, Animal Kingdom


BEST ANIMATED FILM
How to Train Your Dragon
The Illusionist
Toy Story 3


BEST ART DIRECTION
Alice in Wonderland, Robert Stromberg, Karen O’Hara
Happy Potter and the Deathly Hallows — Part 1, Stuart Craig, Stephenie McMillan
Inception, Guy Hendrix Dyas, Larry Dias, Doug Mowat
The King’s Speech, Eve Stewart, Judy Farr
True Grit, Jess Gonchor, Nancy Haigh


BEST CINEMATOGRAPHY
Black Swan, Matthew Libatique
Inception, Wally Pfister
The King’s Speech, Danny Cohen
The Social Network, Jeff Cronenweth
True Grit, Roger Deakins


BEST COSTUME DESIGN
Alice in Wonderland, Colleen Atwood
I Am Love, Antonella Cannarozzi
The King’s Speech,
Jenny Beaven
The Tempest, Sandy Powell
True Grit, Mary Zophres


BEST DIRECTOR
Darren Aronofsky, Black Swan
Joel & Ethan Coen, True Grit
David Fincher, The Social Network
Tom Hooper, The King’s Speech
David O. Russell, The Fighter


BEST DOCUMENTARY
Exit Through the Gift Shop, Banksy and Jaimie D’Cruz
Gasland, Josh Fox and Trish Adlesic
Inside Job, Charles Ferguson and Audrey Marrs
Restrepo, Tim Hetherington and Sebastian Junger
Waste Land, Lucy Walker and Angus Aynley


BEST FOREIGN LANGUAGE FILM
Hors la Loi (Outside the Law)
(Algeria)
Incendies (Canada)
In a Better World (Denmark)
Dogtooth (Greece)
Biutiful (Mexico)


BEST ORIGINAL SCREENPLAY
Lisa Cholodenko and Stuart Blumberg, The Kids Are All Right
Scott Silver, Paul Tamasy and Eric Johnson, The Fighter
Mike Leigh, Another Year
Christopher Nolan, Inception
David Seidler, The King’s Speech


BEST ADAPTED SCREENPLAY
Michael Arndt, John Lasseter, Andrew Stanton and Lee Unkrich, Toy Story 3
Danny Boyle and Simon Beaufoy, 127 Hours
Joel & Ethan Coen, True Grit
Debra Granik and Anne Roselini, Winter’s Bone
Aaron Sorkin, The Social Network


BEST EDITING

127 Hours
Black Swan

The Fighter
The King’s Speech
The Social Network


BEST MAKEUP
Barney’s Version
The Way Back
The Wolfman


BEST SCORE
127 Hours
How to Train Your Dragon
Inception
The King’s Speech
The Social Network


BEST SONG
“Coming Home,” Country Strong
“I See the Light,” Tangled
“If I Rise,” 127 Hours
“We Belong Together,” Toy Story 3


BEST SOUND EDITING
Inception
Toy Story 3
TRON: Legacy
True Grit
Unstoppable


BEST SOUND MIXING
Inception
The King’s Speech
Salt
The Social Network
True Grit


BEST VISUAL EFFECTS
Alice in Wonderland
Harry Potter and the Deathly Hallows — Part 1
Hereafter
Inception
Iron Man 2


BEST DOCUMENTARY SHORT
Killing in the Name
Poster Girl
Strangers No More
Sun Come Up
The Warriors of Qiugang


BEST ANIMATED SHORT
Day & Night
The Gruffalo
Let’s Pollute
The Lost Thing
Madagascar, Carnet de Voyage (Madagascar, a Journey Diary)


BEST LIVE-ACTION SHORT
The Confession
The Crush
God of Love
Na Wewe
Wish 143


(I will be sooo happy if win!)

Rabu, 19 Januari 2011

REVIEW: LITTLE FOCKERS
























Jack Byrnes: I’m watching you.

Greg Focker: Well, I have eyes too, so I’ll be watching you… watching me.

Saya masih ingat bagaimana saya sangat menyukai ‘Meet The Parents’ (2000) yang menurut saya adalah salah satu contoh komedi sukses yang menghibur. Sekuelnya, ‘Meet The Fockers’ (2004) memang mengalami penurunan kualitas, namun tetap bisa dinikmati sebagai tontonan hiburan. Pada sekuel ketiga kali ini, kursi sutradara bukan lagi diduduki oleh Jay Roach yang tampaknya kemarin-kemarin sedang sibuk dengan‘Dinner for Smucks’. Paul Weitz (American Pie, About a Boy) lah yang menggantikan posisi tersebut.

Sepuluh tahun telah berlalu, Greg Focker (Ben Stiller) dan istrinya Pam(Teri Polo) serta sepasang anak kembar mereka kini telah berkeluarga dengan tenang yang jauh dari mertua masing-masing. Namun menjelang ulang tahun si kembar Henry (Colin Baioochi) dan Samantha Focker(Daisy Tahan), seluruh keluarga besar tentunya akan berkumpul pada pesta perayaan ulang tahun tersebut, termasuk ayah mertua Greg yang memang ‘kurang cocok’ dengannya. Kedatangan ayah Pam, Jack Brynes(Robert De Niro) membawa malapetaka ‘lagi’ bagi Greg, mulai dari tuntutan Jack agar Greg menjadi kepala keluarga yang baik sampai-sampai kecurigaan Jack pada rekan kerja Greg yang sangat cantik, Andi Garcia (Jessica Alba). Jack pun rela menjadi mata-mata demi mengungkap dugaan perselingkuhan yang ia yakini tersebut. Lain lagi dengan Bernie (Dustin Hoffman), ayah Greg, yang malah sedang keranjingan belajar tari Flamenco sampai ke Spanyol!

Ben Stiller memang jagoannya film komedi, melihat tingkahnya dalam film ini tentu ampuh membuat saya tertawa. Memang ada beberapa lelucon dalam scene yang kesannya berlebihan, namun terus terang saya masih sedikit terhibur menonton film ini. Mungkin juga karena sebelumnya saya sudah membaca review film ini yang rata-rata berisi caci maki, jadi ketika tadi menonton sudah tidak ada lagi ekspektasi bahwa filmnya akan sebagus film pertama atau paling tidak film keduanya. Ternyata tidak seburuk yang saya kira.

Penampilan Robert De Niro dalam film ini betul-betul jempolan. Setiap kali ia muncul di layar, saya pasti langsung tersenyum. Lucu saja rasanya dengan umur De Niro yang sudah ‘kakek’ tapi masih bisa berakting konyol dan kocak seperti itu. Begitu pula dengan Dustin Hoffman disini, setali tiga uang. Tumbs up for them! Ohh yaa..penampilan sekilas dari si cantik Jessica Alba juga tentu akan membuat para penonron pria ‘semriwinggg’.

Sayangnya, ditangan Weitz entah kenapa lelucon dalam ‘Little Fockers’ malah terkesan terlalu ‘lebay’ dan formula yang dipakai bisa dibilang hampir sama dengan film-film sebelumnya. Tidak ada sesuatu yang fresh disini (meskipun beberapa masih membuat saya terhibur). Namun, plot cerita memang sangat terasa dibuat seadanya saja dan seperti dipanjang-panjangkan. Mungkin ada baiknya kalau franchise ini berhenti disini.




Selasa, 18 Januari 2011

REVIEW: THE AMERICAN
























"Don't make any friends, Jack."

Poster film ini memang menipu! Anda pasti akan mengira bahwa ini sebuah film action dengan adegan baku tembak yang menegangkan sepanjang film. Ternyata bukan, ini bisa dibilang sebuah drama yang diberikan sedikit bumbu aksi. Tidak ada suasana yang terlalu intens dalam filmnya. Dialog pun minim, musik juga terasa mendayu-dayu. Jadi apabila anda mengharapkan sebuah film action pastinya akan kecewa.

Ini juga bukan film yang bisa dinikmati semua orang. Sebagian akan suka sekali dengan film ini, sebagian lagi akan mencaci maki karena tidak mengerti dan bosan setengah mati. Anda termasuk bagian yang mana? Menurut saya, kalau anda tidak suka dengan film ber-plot lambat atau memang sedang ingin menikmati film action super seru, ada baiknya lewatkan saja film ini.

Jack (George Clooney) adalah seorang pembunuh dan pembuat senjata professional yang mempunyai nama samaran Edward atau Eduardo. Selama ini ia terbiasa hidup menyendiri. Setelah tugasnya di Swedia selesai dan berakhir tragis, ia mendapatkan sebuah tugas 'terakhir' dari sang atasan, Pavel (Johan Leysen), untuk membuatkan senjata kepada seorang wanita misterius bernama Mathilde (Thekla Reuten) di daerah pedalaman Italia. Jack pun selalu diingatkan oleh Pavel untuk tidak berteman dengan siapa pun, karena kondisinya yang memang tidak memungkinkan untuk bersosialiasi. Namun, di tempatnya kali ini Jack malah berteman dengan seorang pastor bernama Father Benedetto (Paolo Bonacelli) dan menjalin hubungan asmara dengan seorang pekerja seks lokal, Clara (Violante Placido). Saat Jack merasa ia telah siap untuk keluar dari pekerjaan gelap yang dijalaninya saat ini, ia malah dihadapkan pada situasi menegangkan yang dapat mempertaruhkan nyawanya.

'The American' memiliki sinematografi yang luar biasa indah. Hal ini mungkin didapat dari gaya sang sutradara Anton Corbijn yang memang adalah seorang top photographer. Semua sudut pengambilan gambar terasa sangat detil dan artistik dari mulai awal sampai akhir film. Belum lagi ditambah suasana pemandangan pedalaman Italia yang menurut saya sangat eksotis. Para pria tentunya juga akan menikmati pemandangan lain yaitu wanita-wanita sexy Italia yang di ekspos habis-habisan disini.

Penampilan George Clooney disini juga menurut saya merupakan salah satu penampilan terbaiknya selama ini. Aktingnya terasa sangat matang dan meyakinkan. Menurut saya Clooney memiliki banyak kelebihan dari wajah tampannya yang semakin tua malah semakin sedap dipandang mata, di satu sisi ia bisa terlihat konyol dan lucu, namun di sisi lain ia bisa juga terlihat seperti agen FBI atau mafia kelas kakap, sisi lainnya lagi ia juga bisa menjadi seorang yang kesepian dan menderita seperti dalam film ini. Wajah Clooney menyimpan berbagai macam karakteristik.

Meskipun judulnya bernuansa Amerika, namun nuansa Eropa, terutama Italia, malah yang sangat terasa dalam film ini. Sebagian pemainnya adalah para pemain asal Italia, lokasi pengambilan gambar juga di Italia. Maka tidak heran kalau saya yang memang menyukai film-film Eropa juga langsung menyukai 'The American'. Bagi yang sudah terbiasa menonton film-film Eropa pasti tidak akan kaget, malah akan menikmati plot cerita yang berjalan lamban tapi emosional ini. Selamat menonton! :)